Hay, semuanya
kesempatan kali ini saya akan membahas tentang fenomena bunuh diri yg termasuk
kepribadian abnormal. Fenomena ini adalah fenomena yang banyak terjadi di
belahan dunia ini termasuk di Negara Indonesia. Banyak factor dan alasan mengapa
fenomena tersebut banyak terjadi di dunia dan dengan mudahnya mereka melakukan
hal tersebut. Sebelumnya kalian tahu tidak sih apa kepribadian abnormal itu?
Apa
arti perilaku “abnormal”? criteria apa yang kita gunakan untuk membedakannya
dari perilaku “normal”? Dr. Thomas Szasz, seorang psikiater, pernah menyatakan,”Jika
seseorang berkata bahwa ia sedang berbicara kepada Tuhan, temanya akan maklum
bahwa orang itu sedang berdoa. Namun, kalau ia berkata bahwa Tuhan sedang
berbicara kepadanya, boleh dipastikan bahwa temannya itu akan menyebutnya gila”
(Supratikna, 1995).
Itu pula yang
menyebabkan para ahli agak sulit merumuskan secara tepat apa yang dimaksud
dengan normal dan abnormal tentang
perilaku kepribadian. Dari sudut pandang ilmiah pun, seperti dikatakan
Gladstonr (1994:28),”Tidak ada perilaku yang disebut sebagai tingkah laku
normal. Kenormalan demikian terpaut dengan nilai-nilai budaya sehingga tidak
mungkin dibuat suatu definisi lintas budaya yang objektif(universal atau
komparatif, yang memotong perbedaan-perbedaan antarbudaya).”
Penggolongan
bentuk-bentuk perilaku abnormal selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Menurut
Supratiknya (1995:33). Namun hanya sekedar menjelaskan bentuk-bentuk perilaku
abnormal yang cukup sering kita jumpai dalam realitas hidup sehari-hari, antara
lain sebagai berikut :
1. Neurosis
2. Gangguan
psikosis
3. Bunuh
diri
Yang sekarang akan saya bahas
yaitu bentuk perilaku abnormal (bunuh diri).
Mengapa ada
sementara orang nekat bunuh diri? Faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka
melakukan tindakan tidak terpuji tersebut?
Para ilmuwan
sosial mencatat bahwa kebanyakan percobaan bunuh diri , baik di kalangan
perempuan maupun lelaki, dilakukan di tengah suasana percekcokan antara pribadi
atau tekanan hidup berat lainnya. Kelompok yang berisiko tinggi untuk melakukan
percobaan bunuh diri adalah mahasiswa, penderita depresi, para lansia, pecandu alcohol,
orang-orang yang berpisah atau bercerai dengan pasangan hidupnya, orang-orang
yang hidup sebatang kara, kaum pendatang, para penghuni daerah kumuh dan
miskin, kelompok professional tertentu, seperti dokter, pengacara dan psikolog.
Pada umumnya,
kasus bunuh diribdilakukan karena stress yang ditimbulkan oleh berbagai sebab,
antara lain (Supratiknya, 1995):
1. Depresi.
Ada indikasi bahwa sebagian besar orang yang berhasil melakukan bunuh diri
tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan.
2. Krisis
dalam hubungan interpersonal. Konflik dan pemutusan hubungan, seperti konflik
dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang-orang terkasih
akibat kematian dapat meminbulkan stress berat yang mendorong dilakukannya
tindakan bunuh diri.
3. Kegagalan
dan devaluasi diri. Perasaan bahwa dirinya telah gagal dalam suatu urusan
penting, biasanya menyangkut pekerjaan, dapat menimbulkan devaluasi diri atau
rasa kehilangan harga diri yang mendorong tindakan bunuh diri.
4. Konflik
batin. Di sini stress tersebut bersumber dari konflikbatin atau pertentangan di
dalam pikiran orang tang bersangkutan. Misalnya, seorang pria lajang merasa
cemas, bingung, ragu-ragu antara memilih hidup atau mati, dan akhirnya
memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan teka-teki itu dengan melakukan bunuh
diri.
5. Kehilangan
makna dan harapan hidup. Karena kehilangan makna dan harapan hidup, orang
merasa hidupnya sia-sia. Akibatnya, ia memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri. Perasaan semacam ini sering dialami oleh orang-orang yang menderita
penyakit kronik atau penyakit terminal.
Durkheim membenarkan bahwa perbuatan atau tindakan bunuh diri ada
kaitannya dengan tiga factor yaitu predisposisi psikologis tertentu, factor keturunan,
dan kecenderungan manusia untuk meniru orang lain (Veeger,1993:151). Akan tetapi,
ketiga factor ini tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Sebab, menurut data statistic,
kasus-kasus bunuh diri tidak tersebar sama rata antara semua orang dan semua
golongan, padahal ketiga factor tadi tersebar secara sama rata. Misalnya, lebih
banyak orang laki-laki melakukan tindakan bunuh diri ketimbang perempuan; lebih
banyak orang protestan daripada katolik; lebih banyak orang katolik daripada
yahudi; lebih banyak orang bujang daripada orang kawin; lebih banyak militer
ketimbang sipil. Kita, kata Veeger, tidak dapat mengatakan bahwa ketiga factor tadi
lebih sering ditemukan di kalangan laki-laki, orang protestan, orang bujang
atau militer. Malah, menurut kenyataan, lebih banyak orang yahudi menderita
gangguan psikis daripada Kristen, padahal presentase kasus bunuh diri di antara
mereka adalah yang paling. Maka, Durkheim berkesimpulan, bahwa harus ada factor
lain yang berperan dalam menyebabkan fenomena bunuh diri, yaitu factor sosial. Kemudian,
ia merumuskan dan menguraikan tiga tipe bunuh diri, yaitu bunuh diri egoistis,
bunuh diri altruistis, dan bunuh diri anomis, yakni yang berkesan dengan
keadaan saat oranng yang bersangkutan kehilangan pegangan hidup (Veeger,
1993:151-157).
1. Bunuh
diri egoistis.
Egoisme adalah
sikap seseorang yang hendak berintegrasi dengan kelompoknya, yaitu keluarganya,
kelompok rekan, kumpulan agama, dan sebaginya. Hidupnya tidak terbuka kepada orang lain. Ia hanya memikirkan dan
mengusahakan kebutuhannya sendiri, tidak memperhatikan kebutuhan orang lain
atau masyarakat. Ia tidak mempunyai tujuan dalam hidup, selain kepentingannya
sendiri. Apabila orang itu mengalami krisis, ia tidak akan menerima bantuan
moral dari grupnya atau kelompoknya, sebab ia sendirian, tanpa relasi, berada
di luar grupnya. Keadaan tersudut yang disebabkan egoism yang berlebihan, dapat
mengakibatkan terjadinya tindakan bunuh diri.
2. Bunuh
diri altruistis.
Jika bunuh diri
egois disebabkan oelh relasi negative dengan masyarakat atau kelompok, bunuh
diri altruistis adalah kebalikannya. Kini, yang bersangkutan sedemikian
menyatukan diri dengan nilai-nilai grupnya dan sedemikian berintegrasi, hingga
di luar itu ia tidak memounyai identitas. Pengintegrasian yang menyangkut
seluruh hidup seseorang memandang hidup di luar grup atau dalam pertentangan
dengan grup sebagai tidak berharga. Maka kalau etiknya grup menuntut agar dia
merelakan nyawanya demi suatu keyakinan atau kepentingan bersama, ia akan
cenderung menyesuaikan diri dengan tuntutan itu. Menurut Durkheim, bahwa
semakin besar pengintegrasian seseorang dengan grupnya, makin besar pula
kecenderungannya ke arah tindakan bunuh
diri dan makin tinggi presentase kasus bunuh diri.
3. Bunuh
diri anomis.
Anomis (kekaburan
norma, tanpa norma) adalah keadaan moral, ketika orang yang bersangkutan
kehilangan cita-cita, tujuan, dan norma dalam hidupnya. Nilai-nilai yang semua member
motivasi dan arah kepada perilakunya, tidak berpengaruh lagi. Pelbagai kejadian
dapat menyebabkan keadaan itu. Musibah yang menimpa seseorang, hingga semuanya
yang pernah menyemangati dan menertibkannya telah musnah, dapat mengakibatkan
perubahan radikal. Misalnya, orang yang seluruh tenaga hidupnya dikerahkan
untuk kesejahteraan keluarganya atau keberhasilan dalam kariernya atau
pengumpulan harta, lalu menderita musibah, tidak hanya akan mengalami krisis
emosional berupa tekanan batin(gejala psikis), tetapi krisis nilai-nilai juga. Nilai-nilai, seperti kesetian, tanggung
jawab, kerja keras, kejujuran, prestasi dan seterusnya berhenti merangsang dan
mengekang dia. Tidak hanya musibah saja yang dapat menyebabkan anomi, tetapi
keuntungan besar atau tercapainya cita-cita pun dapat membawa efek yang sama. Menurut
Durkheim, jika keadaan psikis seseorang agak goyah, dan ia mengalami gangguan
emosional, masyarakat-lah seakan-akan melepaskan dorongan dalam diri individu
untuk melakukan bunuh diri. Masyarakat-lah yang seakan-akan mengambil tindakan
pembalasan.
Demikian
pembahasan dan penjelasan saya kali ini tentang fenomena bunuh diri. Bunuh diri
adalah hal yang paling tidak disukai dan dibenci oleh Tuhan, maka dari itu
janganlah kita mempunyai pikiran pendek untuk mengakhiri hidup kita dengan
bunuh diri hanya karena hal-hal yang sepele. Karena sesungguhnya semua masalah yang kita hadapi pasti ada
jalan keluarnya, mungkin hanya kita orang yang mudah putus asa dan gampang
menyerah makanya kita berpikir bahwa maslah yang kita hadapi tidak ada jalan
keluarnya.
Pesan
saya jadilah manusia yang mampu berpikir cerdas, kreatif, berpikir panjang dan
lihatlah masa lalu kamu sebagai bagian dari pengalaman kamu untuk menjalani
masa depan kamu dengan lebih baik lagi. Karena kalau bukan kita yang merubah
kepribadian kita dan merubah pola pikir kita tentang sesuatu hal maka kita akan
selalu terpuruk dan selalu jatuh pada lubang kesalahan yang sama. So,
semangatlah dalam menjalani hidup ini dan hadapi hidup ini dengan senyuman,
canda dan tawa. J
DAFTAR PUSTAKA :
·
Sobur, Alex, Drs. M.si, Psikologi Umum, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
hmm bunuh diri.. sereeem. . .
BalasHapusharus banyak" istighfar biar ga gampang down dlm menghadapi masalah..
nice :)
aduh ini nih yang ditakutin knpa masih ada aja ya kepribadian / pribadi seseorang yg sprti ini hhu
BalasHapuswiih, oppa pembahsannye berat yeh hehehe
BalasHapuskece nih pembahsannya :)
lengkap penjelasannya :)
BalasHapusbetul skali tuh, thank you azizah. ;)
BalasHapuswahhh berarti harus selalu ada orang untuk disampingnya ya? hmmm nice info :)
Hapusgak selalu sih ki, yg penting kita selalu kasih dukungan ke orang itu dn selalu mengingatkan kerugian dari hal trsebut itu udh cukup ko, :)
Hapusmakasih all commentnya. ;)
BalasHapusiiihhh serem yah bunuh diri :|
BalasHapuswow serem X_x
BalasHapusbut, nice share :)
seremm juga yaaa .. keren nih tulisannya :)
BalasHapussrem ih.. hehehe..
BalasHapustapi keren! menarik nih.. (y)
ya Tuhan jangan sampe saya kaya gini o:)
BalasHapusmakasih ya kawand2 comment'a ;)
BalasHapuswao ini nih,. sering banget terjadi di dunia,. apa lagi jepang kali ia?,. dr pada bunuh diri,. mening bunuh kemiskinan n kebodohan,. :D
BalasHapusmakasih robert komentarnya. like this dg pndapat robert. (y) :)
BalasHapus